Jumat, 24 Oktober 2014

alamku tak hijau lagi : Visit Dieng Plateu


dibawah puncak gunung Bisma
Setelah beberapa tahun nggak sempat naik ke Dieng, Alhamdulillah lebaran tahun ini saya ada kesempatan untuk merasakan dinginnya negeri di atas awan. Bukan jarak yang jauh yang menyebabkan saya nggak munggah, tapi karena saya sebenarnya alergi dengan udara yang terlalu dingin. Kata orang Kalidesel (kampung saya, Pen.) disebut giduhen atau dalam bahasa Indonesia biduren. Dari kampung saya sampai ke Dieng hanya + 20 menit dengan sepeda motor, kalo jalan ya mungkin sampai enjor kali ya...soalnya jalannya nanjak banget, he...

Kesempatan kali ini, saya tidak menceritakan betapa indahnya negeri di atas awan , tapi saya ingin berbagi pengalaman selama dalam perjalanan menyusuri pinggiran Dieng sisi sebelah barat. Sebab memang ndak ada niat mau jeng-jeng di tempat wisatanya, cuma kebetulan ada acara silaturahmi ke rumah Mbak Yu ku di daerah Batur - Dieng. Jadi sekalian narsis sama istri selama dalam perjalanan.



Saya tidak menyangka, setelah beberapa tahun nggak sempat naik, kondisi alas (hutan) sudah sangat berubah sekali. Seperti yang terlihat di foto saya dengan latar belakang puncak Bisma, dulu disana terlihat hijau dan rimbun hutan pinus. Tapi sekarang terlihat tandus dan hanya terlihat semak2 dan pepohonan kecil. Sunggug miris memang, akibat ulah manusia, hutan kita semakin kering.

Gg. Bisma yang tidak lagi mempesona

Sudah tidak terlihat lagi rimbun dedaunan nan hijau dan sejuk, yang terlihat hanya rerumputan dan semak belukar.

Sesekali kami narsis dengan latar belakang gunung Bisma yang terletak di atas kampung kami. Beruntung istri bawa camdig, jadi kami bisa narsis bareng dengan set timer di camdig. Perjalanan yang tidak jauh tapi cukup melelahkan, karena kondisi jalan yang sudah tidak mulus lagi.

Saya jadi teringat nyanyian seorang sahabat tentang Dieng yang tak subur lagi.

Nyanyian Diengku


Di ketinggian 2.093 meter, kau tegak menjulang.
Bersimut kabut pagi  berarak-arak menyapu hamparan ladang kentang,
bukit-bukit terjal dan berkawan hawa dingin yang menusuk tulang
beraroma belerang yang mengepul pekat dari Kawah Sikidang
gemerlap cahaya kemilau telaga
menyambut nyanyian burung memecah angkasa
rindangnya belantara seakan berkata
inilah surga dunia
sungguh antik dan eksotik
sebuah panorama misteri  nan  ajaib
puncak Dieng dari Ds. Tempuran

Konon, Dataran Tinggi Dieng
istana para dewa bersemayam
wangsa Mataram Kuno
membangun kuil dan candi
hingga beruntai, berhiaskan relief-relief
sebagai saksi sebuah eksistensi
negeri  Wangsa Sanjaya nan suci abadi hingga kini
Konon, Dieng  tempat flora dan fauna bercengkerama
di bawah rindangnya pepohonan
akasia, Pinus, Kayu Putih, Gondopuro, Tengsek, dan Pyretum
yang hijau rimbun
terhampar membentang sepanjang mata memandang
lebatnya semak-semak belukar
tebalnya rerumputan dan lumut liar
menjalar lalu menyeruak di sela-sela bebatuan besar yang tetap kokoh  dan tegar
menambah  indahnya pesona ciptaan Tuhan

Tergores sebagai lukisan alam nan dahsyat
Hutan yang kini menjadi lahan kentang
sungguh-sungguh hebat,
kini, burung tak lagi bernyanyi
hutan menangis kesakitan
saat parang dan sabit membabat habis
tubuhmu yang semakin kurus tak bertulang
hamparan semak belukar lenyap entah ke mana
terusir oleh aroma pestisida
telaga tak lagi jernih berkilau
airnya menyusut, dan warnamu pudar
seiring gundulnya bukit-bukit
dan tandusnya lereng-lereng  gunung tergerus erosi
entahlah, ke mana perginya
Burung Belibis, Perkutut Hutan, Kepodang, Jalak Penyu dan Burung Johor
yang kala itu kesohor dengan cicit, riuh dan merdu kicauannya
saat menyongsong matahari  terbit ufuk  timur
View : Ds. Tempuran
Entahlah, ke mana larinya
hewan-hewan liar yang menyimpan kengerian
pada taring-taringnya yang runcing dan raungannya yang melengking
Babi Hutan, Harimau Gembong, Gogor, Kumbang  dan Tutul
tak lagi muncul di keheningan malam
yang tinggal bentangan ladang kentang, kol, bawang merah, jagung
dan aneka palawija tanpa tanaman keras berakar kuat
pelindung tanah dari terpaan hujan



Dan kini, Dieng mulai meringis
View : Puncak Ds. Kandangan
memamerkan  gigi bebatuan yang menyebul semakin menonjol
tinggal menunggu waktu harus tanggal
menggelinding, menerjang, dan menghantam apa pun tanpa ampun
ketika hujan turun deras
menerabas, kentang, kol, bawang merah, jagung, ladang
semua lenyap tak berbekas
tinggal penyesalan yang ada
menyesakkan dada, mengundang tanda tanya
mengapa begini?
siapa yang bertanggungjawab semua ini?
bagaimana mengatasi?
ke mana hutan perawan itu pergi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar